Pembelajaran dan Transformasi Organisasi - Seri Knowledge Management (2)

Pembelajaran dan Transformasi Organisasi

Knowledge Management (KM) berasal dari konsep proses belajar suatu organisasi dan bagaimana organisasi menyimpan proses belajar itu atau disebut juga dengan organizational memory (MO) atau kumpulan data, informasi, dan knowledge dalam organisasi.  Ketika anggota organisasi berkolaborasi dan saling mengkomunikasikan gagasannya, saling mengajar dan belajar, artinya adalah bahwa knowledge sedang mengalami transformasi dan dipindahkan dari satu orang ke orang yang lainnya. 

Learning Organization (LO)

Istilah learning organization (LO) atau organisasi yang selalu belajar mengacu pada kemampuan organisasi untuk belajar dari pengalaman masa lalunya.  Sebelum suatu perusahaan bisa memperbaiki diri, dia harus belajar terlebih dahulu.  Belajar meliputi interaksi antara pengalaman dan kompetensi. Di dalam communities of practice atau CoP (komunitas praktis atau kumpulan orang-orang yang belajar dan berbagi knowledge dari pengalaman) kedua hal tersebut sangatlah terkait. Communities of practice (CoP) tidak hanya memberikan konteks bagi pendatang baru untuk belajar tetapi juga memberikan konteks bagi wawasan baru untuk ditransformasikan menjadi suatu knowledge.

Untuk membagun suatu Learning Organization (LO), tiga hal penting yang harus dihadapi: 1) maksud atau meaning (menentukan visi tentang apa yang akan dicapai suatu LO di masa mendatang), 2) manajemen (menentukan bagaimana perusahaan akan melakukannya), dan 3) pengukuran (menilai laju dan tingkat proses pembelajaran). Suatu Learning Organization (LO) adalah suatu organisasi yang menunjukkan lima aktivitas utama ini dengan baik: 1) memecahkan masalah secara sistematis, 2) bereksperimen secara kreatif, 3) belajar dari masa lalu, 4) belajar dari best practices orang/organisasi lainnya, dan 5) mentransfer knowledge dengan cepat dan efisien di dalam organisasi.

Organizational Learning

Organizational learning atau pembelajaran organisasi adalah pengembangan suatu knowledge dan wawasan baru yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perilaku suatu organisasi.  Hal ini terjadi bila ada proses berbagi mengenai berbagai macam asosiasi, sistem kognitif, dan knowledge yang dimiliki para anggota organisasi. Ketrampilan atau kecerdasan dalam proses pembelajaran meliputi hal-hal berikut:
  • Keterbukaan terhadap berbagai perspektif baru
  • Kesadaran akan adanya bias pribadi
  • Keterbukaan terhadap data-data yang tidak difilter
  • Rasa kerendahan hati
Membangun memori (tempat penyimpanan knowledge) perusahaan adalah faktor yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan. Teknologi Informasi (TI) memainkan peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran organisasi, dan manajemen harus menekankan tumpuan pada departemen ini untuk mengembangkannya.

Karena organisasi modern cenderung semakin virtual dalam berbagai operasi atau aktivitasnya, maka mereka harus mengembangkan metode-metode untuk proses pembelajaran organisasi yang efektif. Berbagai teknologi kolaborasi modern bisa membantu berbagai insiatif Knowledge Management (KM). Proses pembelajaran organisasi dan tempat penyimpanan knowledge (OM) seharusnya lebih bergantung pada orang daripada bergantung pada teknologi.

Organizational Culture (Kultur Organisasi)

Kemampuan organisasi untuk belajar, mengembangkan memori, dan berbagi knowledge bergantung pada kulturnya.  Kultur (atau culture) adalah pola berbagai asumsi dasar bersama. Seiring dengan berjalannya waktu, organisasi pasti mempelajari apa yang berhasil dan apa yang tidak berhasil.  Karena berbagai pelajaran menjadi sifat dasar kedua, maka berbagai macam pelajaran tersebut menjadi bagian dari kultur organisasi (organizational culture).  Karyawan baru akan belajar kultur tersebut dari mentornya, bersama dengan keahliannya.

Dampak dari kultur suatu perusahaan sangatlah sulit  untuk diukur. Namun demikian, kultur yang kuat pada umumnya menghasilkan hasil-hasil keuangan yang kuat dan bisa diukur, misalnya: net income, ROI, kenaikan harga saham setiap tahun.

Contoh, Buckman Laboratories, sebuah perusahaan farmasi, mengukur dampak kultur melalui penjualan produk barunya. Buckman menjalankan perubahan pada kultur perusahaannya dengan menerapkan knowledge-sharing sebagai bagian dari nilai-nilai inti perusahaan. Setelah meng-institusikan inisiatif knowledge-sharing, penjualan produk dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun meningkat menjadi 33% dari total penjualan, meningkat  dari sebelumnya 22%. Inisiatif untuk berbagi dan motivasi yang tepat adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksesan Knowledge Management (KM).  Hal seperti ini pada umumnya sangat sulit bagi sektor publik. Namun demikian, kultur perusahaan yang tidak menumbuhkan proses berbagi bisa melumpuhkan usaha dalam menjalankan Knowledge Management (KM).

Memotivasi para karyawan untuk menggunakan Knowledge Management System (KMS), baik dalam menyumbangkan knowledge dan mencari knowledge bisa jadi hal yang sulit. Riege (2005) me-review berbagai kajian terdahulu dan mengidentifikasi sejumlah alasan mengapa orang tidak suka berbagi knowledge:
  • Kurangnya waktu untuk membagikan knowledge dan waktu untuk mengidentifikasi kolega-kolega yang sedang membutuhkan knowledge tertentu
  • Ketakutan atau kekhawatiran bahwa dengan berbagi knowledge bisa mengurangi atau membahayakan pekerjaannya.
  • Kurangnya kesadaran akan nilai dan manfaat suatu pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain
  • Dominansi berbagi explicit dibandingkan dengan tacit knowledge, seperti kecakapan dan pengalaman yang memerlukan proses pembelajaran praktis dan terapan, observasi, dialog, dan pemecahan problem interaktif.
  • Penggunaan hirarki pekerjaan (bos-bawahan) yang kental, status posisi, dan kewenangan formal.
  • Kurangnya pemahaman, evaluasi, feedback, komunikasi, dan toleransi dari kesalahan di masa lalu yang bisa meningkatkan efek proses pembelajaran organisasi dan individu.
  • Perbedaan tingkat pengalaman
  • Kurangnya waktu untuk interaksi antara nara sumber dan penerima pengetahuan
  • Perbedaan usia
  • Perbedaan gender
  • Kurangnya jejaring sosial
  • Perbedaan tingkat pendidikan
  • Kepemilikan kekayaan intelektual karena khawatir tidak menerima pengakuan dan akreditasi dari para manajer dan kolega
  • Kurangnya kepercayaan antar karyawan karena mereka bisa saja menyalahgunakan knowledge atau memanfaatkannya secara tidak adil
  • Kurangnya kepercayaan terhadap akurasi dan kredibilitas knowledge yang yang berasal dari nara sumbernya
  • Perbedaan kultur nasional, latar belakang etnis, nilai-nilai, agama.
Kadang-kadang suatu proyek teknologi gagal karena tidak sesuai dengan kultur perusahaan. Ini adalah isu yang lebih serius dibandingkan dengan tidak cocoknya antara teknologi dan pekerjaan dengan ketrampilan seseorang. Hal ini terutama berlaku bagi Knowledge Management System (KMS), karena sangat bergantung  pada orang-orang yang memberikan knowledge-nya. Banyak KMS yang gagal karena hal-hal seperti itu yaitu karena masalah kultur organisasi.

Organisasi yang berhasil seringkali di-cirikhas-kan oleh kemampuan mereka dalam mengelola risiko yang terkait dengan berbagai proyek teknologi. Manajemen risiko dan Knowledge Management (KM) bukanlah praktik manajemen yang saling ekslusif satu sama lain. Kedua hal tersebut seringkali tumpang tindih dalam proses meng-kontekstualisasi-kan praktik-praktik organisasi.

No comments:

Post a Comment