Penyesuaian - Seri Business Performance Management (5)

Kerjakan dan buat penyesuaian: apa yang perlu kita lakukan dengan cara yang berbeda?

Apakah suatu perusahaan memiliki minat dalam meningkatkan pertumbuhan bisnisnya atau memperbaiki operasinya, sebenarnya semua strategi itu bergantung pada project-project baru—seperti membuat produk baru, masuk ke market baru,  meningkatkan perolehan pelanggan baru atau membuat bisnis baru, atau merampingkan suatu proses. Kebanyakan perusahaan melakukan pendekatan terhadap berbagai project-project baru tersebut dengan semangat optimisme dibandingkan dengan objektivitasnya, sehingga cenderung mengabaikan fakta bahwa project-project dan usaha baru seringkali banyak yang gagal. Apakah penyebab kemungkinan kegagalannya? Hal tersebut tergantung dari jenis project-nya. Film-film Hollywood memiliki peluang gagal sebesar 60%. Hal yang sama juga terjadi pada merger dan akuisisi perusahaan. Berbagai project TI memiliki angka kegagalan 70%. Untuk berbagai produk makanan baru angka kegagalannya sebesar 80%.  Untuk produk-produk farmasi bahkan lebih tinggi lagi yaitu sekitar 90%. Secara keseluruhan, angka kegagalan bagi kebanyakan project-project baru berkisar antara 60 dan 80 persen.

Suatu project bisa gagal dengan berbagai cara, mulai dengan pertimbangan yang terlalu sedikit terhadap berbagai opsi dan skenario, gagal mengantisipasi gerakan kompetitor, mengabaikan berbagai perubahan dalam lingkungan sosial ekonomi, tidak akurat dalam memprediksi demand, atau meremehkan investasi yang diperlukan untuk mendapatkan sukses, itulah sebagian kecil hal-hal yang bisa menjadi penyebab kegagalan. Itulah kenapa sangat penting bagi perusahaan untuk memonitor secara kontinyu berbagai macam hasil, menganalisa apa yang telah terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan melakukan penyesuaian terhadap tindakan-tindakan secara tepat.

Contoh dibawah adalah sistem marketing  dengan siklus tertutup dari Harrah’s Entertainment,.Inc yang memiliki lima langkah dasar:
  1. Siklus mulai dengan ‘mendefinisikan’ tujuan-tujuan yang kuantitatif dari campaign marketing atau prosedur uji coba dalam bentuk hasil-hasil yang diharapkan bagi pelanggan yang berada dalam kelompok uji coba eksperimental  dan dibandingkan dengan pelanggan yang berada dalam kelompok kontrol. Campaign di-desain untuk memberikan pesan dan tawaran yang tepat pada waktu yang tepat.  Pemilihan pelanggan dan perlakuan terhadap mereka didasarkan pada pengalaman mereka sebelumnya dengan Harrah’s.
  2. Selanjutnya, campaign atau ujicoba ‘dilaksanakan’. Campaign di-desain untuk memberikan pesan dan tawaran yang tepat pada waktu yang tepat.  Pemilihan pelanggan tertentu dan perlakuan yang mereka dapatkan didasarkan pada pengalaman sebelumnya dengan Harrah’s.
  3. Semua respon pelanggan terhadap campaign bisa 'ditelusuri'. Tidak hanya jumlah respon yang diukur, tetapi juga metrik-metrik lain seperti revenue yang dihasilkan melalui insentif dan apakah insentif menyebabkan perubahan yang positif dalam perilaku (misalnya, frekwensi kunjungan yang meningkat, profitabilitas kunjungan, atau permainan silang diantara berbagai kasino).
  4. Ke-efektif-an campaign di-‘evaluasi’ dengan menentukan net-value dari campaign dan profitabilitas relatif terhadap campaign-campaign yang lain.
  5. Harrah’s ‘mempelajari’ insentif-insentif mana saja yang memiliki pengaruh yang paling efektif pada perilaku pelanggan atau memberikan perbaikan profitabilitas yang terbaik. Pengetahuan (knowledge) tersebut digunakan untuk terus-menerus  memperbaiki pendekatan marketingnya.



Selama bertahun-tahun, Harrah’s telah melakukan ribuan uji coba ini. meskipun semua lima tahap itu sangat penting, faktanya adalah bahwa Harrah’s secara terus-menerus menganalisa dan melakukan penyesuaian terhadap strateginya untuk menghasilkan hasil-hasil yang optimal yang membedakannya dari kompetitornya.
Seperti juga Harrah’s, kebanyakan organisasi mengeluarkan banyak sekali uang dan waktu untuk membuat rencana, mengumpulkan data, dan membuat laporan-laporan manajerial. 

Namun begitu, kebanyakan organisasi itu menjadi pucat ketika dibandingkan dengan praktik-praktik performance management. Kajian dari Saxon Group menyarankan (Axson, 2007):
Kebanyakan organisasi mencoba me-manage proses-proses yang kompleks dan volatile (berubah-ubah) dengan praktik-praktik manajemen yang lebih dari setengah abad. Dengan detil rencana strategis lima tahunan, budget tahunan yang statis, pelaporan berbasis kalendaristik, dan prediksi keuangan yang sangat detil yang sebagian besar merupakan tool-tool yang tidak efektif untuk me-manage perubahan, ketidakpastian, dan kompleksitas, namun bagi banyak organisasi hal-hal tersebut tetap merupakan fondasi bagi proses management.  
Perusahaan konsultan The Saxon Group dikepalai oleh David Axson, yang sebelumnya bekerja dengan Hackett Group, perusahaan penasehat strategi terdepan dalam  best-practice advisory, benchmarking, dan transformation consulting services.  Axson telah berpartisipasi dalam lebih dari 300 kajian benchmarking.  antara pertengahan 2005 dan pertengahan 2006, Saxon Group melakukan survey atau working session dengan lebih dari 1000 eksekutif bidang keuangan dari North America, Europe, dan Asia dalam usaha untuk menetapkan kemutakhiran saat ini berkaitan dengan manajemen bisnis. Perusahaan-perusahaan dari semua kelompok industri besar telah disajikan. Kira-kira 25 persen perusahaan-perusahaan memiliki revenue tahunan kurang dari $500 juta, 55 persen antara $500 juta dan $5 miliar, dan 20 persen lebih dari $5 miliar.

Berikut adalah ringkasan dari temuan Saxon Group (Axson, 2007):
  • Hanya 20 persen organisasi memanfaatkan sistem performance management yang terintegrasi, meskipun demikian ini merupakan kenaikan sebesar 10 persen dari 5 tahun sebelumnya. 
  • Kurang dari 3 dari 10 perusahaan membuat perencanaan-perencanaan yang secara jelas mengidentifikasi hasil-hasil yang diinginkan dari berbagai project dan inisiatif. Selebihnya, mereka berfokus pada hal-hal yang salah. Rencana-rencana finansial tidak mencantumkan biaya yang diinginkan dan manfaat-manfaat dari setiap inisiatif dan tidak mengidentifikasi investasi total.  Rencana-rencana taktis gagal menjelaskan inisiatif-inisiatif besar yang dilakukan.
  • Lebih dari 75 persen informasi yang dilaporkan ke manajemen adalah  informasi lama dan berfokus ke internal; kurang dari 25 persen adalah prediksi tentang masa mendatang atau berfokus pada marketplace.
  • Knowledge worker rata-rata meluangkan kurang dari 20 persen dari waktunya berfokus pada apa yang disebut sebagai tugas-tugas yang mendukung keputusan dan menganalisa mengenai value yang lebih tinggi. Tugas-tugas dasar seperti menyusun dan mem-validasi data yang diperlukan bagi tugas-tugas yang bernilai lebih tinggi memakan kebanyakan waktu dari knowledge worker.
Dampak secara keseluruhan mengenai perencanaan dan praktik-praktik pelaporan di kebanyakan perusahaan adalah kurangnya waktu bagi manajemen untuk me-review hasil-hasil dari perspektif strategi, memutuskan  apa yang seharusnya dilakukan dengan cara yang berbeda, dan bekerja berdasar rencana-rencana yang sudah direvisi. Ini adalah fakta bahwa ikatan antara strategi perusahaan, taktik, dan hasil yang diharapkan adalah masih kecil (Axson, 2007):
Tanpa pemahaman yang jelas mengenai hubungan sebab-akibat antara taktik dan sasaran, anda hanya bisa memiliki sedikit ‘konfidensi’  bahwa  tindakan hari ini akan menghasilkan hasil-hasil yang diharapkan di hari esok.  Organisasi-organisasi dengan best-practice tidak perlu membuat prediksi atau rencana-rencana yang lebih baik; namun begitu, mereka jauh lebih baik bila dilengkapi (dengan pembuatan prediksi-prediksi  dan rencana-rencana tersebut) untuk mengidentifikasi dengan cepat mengenai perubahan-perubahan dan permasalahan-permasalahan, men-diagnosa sebab-sebab asal, dan mengambil tindakan korektif.
Artikel Terkait BPM:

No comments:

Post a Comment