Methodologi-methodologi dalam BPM - Seri Business Performance Management (7) - Bagian (a)

Methodologi-methodologi dalam BPM (Business Performance Management)

Ada banyak hal lain mengenai pengukuran kinerja selain hanya mengenai score saja. Sistem pengukuran kinerja yang efektif seharusnya membantu melakukan hal-hal berikut:
  • Menyelaraskan antara tujuan-tujuan strategis dari level paling atas dengan inisiatif-inisiatif di level paling bawah
  • Mengidentifikasi peluang dan masalah secara tepat waktu
  • Menentukan prioritas dan mengalokasikan berbagai sumber daya berdasarkan prioritas-prioritas tersebut
  • Mengubah pengukuran ketika proses yang mendasari dan strategi mengalami perubahan
  • Menjelaskan tanggungjawab, memahami kinerja aktual relatif terhadap tanggungjawab, dan memberi reward dan menghargai pencapaian atau prestasi
  • Mengambil tindakan untuk meningkatkan proses dan prosedur bila ada data yang menjamin hal itu
  • Merencanakan dan memprediksi dengan lebih tepat waktu dan lebih reliable
Suatu framework pengukuran kinerja yang sistematis dan holistik diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan juga hal-hal lainnya. Selama lebih dari 45 tahun yang lalu berbagai sistem sudah diusulkan. Beberapa diantaranya, seperti ‘Activity-Based Costing’ (ABC), sangat berfokus pada hal-hal finansial. Yang lain, seperti ‘Total Quality Management’ (TQM), adalah berorientasi pada proses. Pada diskusi bagian berikut ini kita akan menguji dua pendekatan yang paling banyak digunakan yang menunjang berbagai proses dasar yang mendasari BPM, yaitu: ‘Balanced Scorecard’ (BSC, thepalladiumgroup.com) dan Six Sigma (Motorola.com/motorolauniversity.jsp).

Balanced Scorecard (BSC)

Barangkali sistem pengukuran kinerja yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah ‘balanced scorecard’ (BSC). Kaplan dan Norton pertamakali mengenalkan methodologi ini dalam artikel mereka di ‘Harvard Business Review’ yang berjudul” “The Balanced Scorecard: Measures That Drive Performance”, yang muncul pada 1992. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1996, penulis yang sama menerbitkan buku sebagai terobosan yang berjudul – “The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action”—yang mendokumentasikan bagaimana perusahaan-perusahaan menggunakan BSC tidak hanya untuk melengkapi bagi ukuran-ukuran finansial mereka dengan ukuran-ukuran yang nonfinansial, tetapi juga mengkomunikasikan dan mengimplemantasikan strategi mereka. Selama beberapa tahun lalu, BSC telah menjadi istilah umum (sama seperti Coke atau Xerox) yang digunakan untuk menyajikan semua jenis penerapan scorecard dan implementasinya, tanpa memandang apakah itu mengenai ‘balanced’ atau ‘strategi’. Dalam merespon istilah yang campur aduk itu, Kaplan dan Norton menerbitkan buku baru pada tahun 2000, yang berjudul, “The Strategy-Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment”. Buku ini di-desain untuk kembali menekankan karakter dasar strategi dari methodologi BSC.  Beberapa tahun kemudian disusul, pada tahun 2004, dengan “Strategy Maps: Covering Intangible Assets into Tangible Outcomes”, yang menjelaskan proses detil mengenai kaitan antara tujuan strategis hingga ke taktik dan inisiatif operasional. Akhirnya, pada buku terbaru mereka, “The Execution Premium”, yang terbit pada tahun 2008, yang berfokus pada gap strategy—yang mengkaitkan antara formula strategi dan perencanaan dengan eksekusi operasional.

Makna dari “Balance”. Dari sudut pandang atas, ‘balanced scorecard (BSC) adalah mengenai methodologi pengukuran kinerja dan suatu methodologi management yang membantu menterjemahkan berbagai tujuan dan target ‘finansial’ organisasi, ‘customer’, ‘internal process’, dan ‘learning and growth’ menjadi sekumpulan inisiatif yang dapat diaplikasikan. Sebagai suatu methodologi pengukuran, BSC di-desain untuk mengatasi keterbatasan sistem yang terlalu berfokus pada aspek finansial. BSC melakukan hal ini dengan cara menterjemahkan visi dan strategi organisasi menjadi sekumpulan tujuan, ukuran, target, dan inisiatif baik finansial dan nonfinansial yang saling terkait. Berbagai tujuan nonfinansial berada pada satu dari tiga perspektif berikut ini:
  • Customer. Tujuan-tujuan pada bagian ini menjelaskan bagaimana organisasi perlu muncul ke customer nya bila ingin mencapai visi nya.
  • Internal business process. Tujuan-tujuan pada bagian ini menetapkan berbagai proses organisasi harus melampui yang biasanya untuk memberi kepuasan para pemegang saham dan customer.
  • Learning and growth. Tujuan-tujuan pada bagian ini menunjukkan bagaimana organisasi bisa memperbaiki kemampuannya untuk berubah dan bertambah baik untuk mencapai visinya.
Pada dasarnya, tiga perspektif tersebut membentuk rantai kausal sederhana dengan “learning and growth’ yang menggerakkan perubahan “internal business process” yang kemudian menghasilkan hasil-hasil yang terkait dengan “customer” yang bertanggungjawab dalam mencapai sasaran-sasaran finansial perusahaan. Rantai sederhana ini dicontohkan dalam gambar ilustrasi di bawah berikut ini:
Strategy Map and Balanced Scorecard
Dalam BSC, istilah ‘balance’ muncul karena sekumpulan ukuran yang sudah dikombinasikan diandaikan meliputi indikator-indikator berikut:
  • Financial dan nonfinansial
  • Leading dan lagging
  • Internal dan external
  • Quantitative dan qualitative
  • Short term dan long term
Menyelaraskan antara strategi dan tindakan.  Sebagai suatu methodologi manajemen strategi, BSC mendorong organisasi untuk menyelaraskan berbagai tindakannya dengan strategi secara keseluruhan. BSC menjalankan tugas ini melalui serangkaian tahapan yang saling terkait. Langkah-langkah khusus yang terlibat bervariasi dari satu buku ke buku selanjutnya. Dalam pembawaanya yang terbaru, Kaplan dan Norton (2008) mengeluarkan enam tahapan proses:
  1. Developing and formulating a strategy. Menetapkan dan menjernihkan misi, value, dan visi organisasi; mengidentifikasi melalui analisa strategis pada bagian-bagian internal dan eksternal yang memberi dampak pada strategi; dan menetapkan arah strategi organisasi, menentukan dimana dan bagaimana organisasi akan menuju.
  2. Planning the strategy. Mengkonversi berbagai  statement arah strategi menjadi berbagai tujuan, ukuran, target, inisiatif, dan budget tertentu yang menuntun berbagai tindakan dan menyelaraskan organisasi untuk eksekusi strategi yang efektif.
  3. Aligning the organization. Memastikan bahwa strategi-strategi di unit bisnis dan  unit penunjang selaras dengan strategi korporat dan bahwa para karyawan selalu termotivasi untuk melaksanakan strategi tersebut.
  4. Planning the operations.  Memastikan bahwa perubahan-perubahan yang diperlukan oleh strategi diterjemahkan menjadi perubahan-perubahan di proses operasional dan bahwa kapasitas sumber daya, rencana-rencana operasional, dan budget mencerminkan arah dan kebutuhan strategi.
  5. Monitoring and learning. Menentukan meeting-meeting untuk review aktivitas operasional apakah kinerja operasional dan finansial jangka pendek sudah selaras dengan target-target yang ditentukan atau belum dan apakah strategi secara keseluruhan sudah berhasil dieksekusi atau tidak.  
  6. Testing and adapting the strategy. Menilai melalui pengujian terhadap strategi dan meeting-meeting untuk mengadaptasi apakah strategi sedang dalam berjalan dengan baik atau tidak, apakah asumsi-asumsi fundamental masih valid, dan apakah strategi perlu dimodifikasi atau diadaptasi seiring berjalannya waktu.
Sekilas, langkah-langkah diatas sangat mirip dengan siklus loop tertutup BPM yang dijelaskan pada seri BPM sebelumnya. Hal ini seharusnya bukanlah hal yang mengejutkan, karena methodologi BSC adalah suatu methodologi BPM.  Namun demikian, satu hal yang membedakan methodologi BSC dengan methodologi lainnya adalah pada penggunaannya yang memanfaatkan dua tool inovatif yang khas terhadap methodologi tersebut –yaitu strategy maps dan balanced scorecards.

Strategy maps dan balanced scorecards berjalan bergandengan-tangan. Strategy map menjelaskan proses penciptaan value melalui serangkaian hubungan sebab-akibat diantara berbagai tujuan utama organisasi pada semua empat perspektif organisasi—finansial, customer, process, dan learning and growth. Balanced scorecard melacak ukuran-ukuran yang dapat diaplikasikan dan target-target yang terkait dengan berbagai sasaran. Keduanya secara bersama-sama membantu perusahaan menterjemahkan, mengkomunikasikan, dan mengukur strategi-strateginya.

Gambar strategy map dan balanced scorecard di atas adalah gambar ilustrasi untuk perusahaan fiktif. Ilustrasi tersebut juga memasukkan portfolio inisiatif yang di-desain untuk membantu organisasi mencapai target-targetnya. Dari map itu, kita bisa melihat bahwa organisasi memiliki empat tujuan disepanjang empat perspektif BSC. Seperti halnya dengan strategy maps yang lain, strategy map yang ini dimulai dengan yang paling atas dengan tujuan finansial (misalnya, meningkatkan net income). Tujuan ini kemudian didorong oleh sasaran pada aspek ‘cutomer’ (misalnya, meningkatkan customer retention). Selanjutnya, tujuan pada aspek ‘customer’ adalah hasil dari tujuan pada aspek internal process (misalnya, meningkatkan kinerja call center).  Map itu berlanjut ke bawah hingga ke yang paling bawah, yaitu dimana tujuan ‘learning and growth’ tertera disana (misalnya, mengurangi employee turnover).

Setiap tujuan yang muncul di strategy map memiliki ukuran, target, dan inisiatif yang terkait. Contohnya, tujuan mengenai “meningkatkan customer retention” mungkin saja diukur dengan ‘jumlah maintenance retention’. Untuk ukuran seperti ini, kita bisa saja memberi target 15 persen peningkatan dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya. Salah satu cara mencapai perbaikan ini adalah  dengan mengubah (menyederhanakan) pemberian lisensi dan kontrak maintenance.

Secara keseluruhan, strategy maps seperti yang ada pada gambar di atas menyajikan model hypotetis dari suatu segment bisnis. Bila nama-nama tertentu (baik orang maupun team) ditugaskan ke berbagai inisiatif, model tersebut  bertugas untuk menyelaraskan tindakan-tindakan di level paling bawah dengan tujuan-tujuan strategis di level paling atas dari suatu organisasi. Bila hasil-hasil aktual dibandingkan dengan hasil-hasil yang ditargetkan, keputusan bisa diambil mengenai apakah strategi yang di uji coba (hypotetis tadi) perlu dipertanyakan atau tidak atau apakah tindakan-tindakan yang menangani berbagai macam bagian dari hypotetis tersebut perlu dilakukan penyesuaian (adjustment) atau tidak.

Stragey map yang ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas relatif sangat sederhana dan mudah dan hanya menyajikan suatu segment bisnis. Kebanyakan strategy map adalah lebih kompleks dan mencakup jangkauan tujuan yang lebih luas. Karena kompleksitas tersebut, Kaplan dan Norton baru-baru ini memperkenalkan konsep tema strategis (strategic themes). “Strategic themes” memecah suatu strategy menjadi beberapa proses yang menciptakan value yang berbeda. Masing-masing ‘strategic theme’ menyajikan sekumpulan tujuan strategis yang terkait.  Contohnya, pada gambar ilustrasi di atas, sekumpulan tujuan ini bisa saja diberi nama ‘customer management’. Bila perusahaan fiktif yang disajikan dalam gambar tersebut juga mencoba meningkatkan net income dengan cara mengakuisisi kompetitor, maka itu bisa menjadi theme ‘mergers and acquisition’. Ide dibalik ‘strategic themes’ adalah menyederhanakan proses dalam membentuk, mengeksekusi, melacak, dan melakukan penyesuaian strategi.   

No comments:

Post a Comment