Pengukuran Kinerja - Seri Business Performance Management (6)

Pengukuran Kinerja

Inti dari BPM (Business Performance Management) adalah sistem pengukuran kinerja. Menurut Simons (2002), sistem pengukuran kinerja:
Membantu manajer dalam melacak implementasi strategi bisnis dengan membandingkan hasil-hasil aktual dengan tujuan dan sasaran strategis. Sistem pengukuran kinerja biasanya terdiri berbagai metode sistematis dalam menetapkan berbagai tujuan bersamaan dengan laporan feedback secara periodik yang menunjukkan progress dalam mencapai tujuan.
Semua pengukuran adalah mengenai perbandingan.  Angka-angka tanpa perbandingan biasanya jarang memiliki nilai. Bila anda diberitahu bahwa seorang karyawan bagian penjualan menyelesaikan 50 persen ‘deal’ yang dia kerjakan dalam satu bulan, hal itu tidak menunjukkan banyak makna. Sekarang coba andaikata anda diberitahu bahwa karyawan penjualan tadi memiliki rerata 30 persen ‘deal’ bulanan pada tahun lalu. Hal itu menjadi jelas, bahwa kecenderungannya adalah baik.  Tetapi bagaimana bila anda diberitahu bahwa rerata ‘deal’ semua karyawan penjualan pada perusahaan tersebut adalah 80 persen? Jelas, bahwa karyawan tadi perlu mengejar ketinggalannya. Seperti yang disarankan dalam definisi Simon, dalam pengukuran kinerja, perbandingan-perbandingan utama berkisar diseputaran strategi, tujuan, dan sasaran. 

KPI dan Metrik-metrik Operasional

Ada perbedaan antara metrik-metrik yang ‘biasa atau standar’ dan metrik yang ‘selaras dengan strategi’. Istilah ‘Key Performance Indicator’ (KPI) seringkali digunakan untuk mengacu ke yang ‘kedua’. Suatu KPI menunjukkan tujuan strategis dan mengukur kinerja terhadap sasaran.  Menurut Eckerson (2009), KPI adalah multidimensional.  Secara longgar diterjemahkan, bahwa KPI memiliki berbagai fitur yang berbeda,  seperti:
  • Strategi. KPI mewujudkan tujuan strategis.
  • Target. KPI mengukur kinerja terhadap target-target tertentu.  Target-target tersebut di definisikan di strategi, perencanaan, atau dalam sesi meeting mengenai budget dan bisa mengambil berbagai macam bentuk yang berbeda-beda (misalnya, target pencapaian, target pengurangan, target absolute).
  • Range. Target-target mempunyai range kinerja (misalnya, diatas, tepat, atau dibawah target).
  • Pengkodean. Range bisa di-kode-kan dalam software, sehingga memungkinkan tampilan kinerja secara visual (misalnya, hijau, kuning, merah). Pengkodean bisa berdasarkan persentase atau aturan-aturan yang lebih kompleks.
  • Time frame. Target-target dikenakan time frame yang harus dipenuhi. Time frame seringkali dibagi menjadi interval-interval yang lebih kecil untuk memberikan tahapan kinerja.
  • Benchmarks.  Target-target diukur terhadap baseline atau benchmark. Hasil-hasil tahun sebelumnya seringkali berlaku sebagai benchmark, tetapi jumlah yang semaunya atau benchmark dari luar bisa juga digunakan.
Perbedaan terkadang dibuat antara KPI ‘outcome’ dan KPI ‘driver’. KPI ‘outcome—sering disebut juga sebagai ‘lagging indicators’—yaitu mengukur output dari aktivitas lampau (misalnya, revenue). KPI ‘outcome’ seringkali berupa aspek finansial, tetapi tidak selalu begitu. Sedangkan KPI ‘driver’—sering juga disebut sebagai ‘leading indicators’ atau ‘value drivers’—mengukur aktivitas-aktivitas yang memiliki dampak penting pada KPI ‘outcome’ (misal, jumlah penjualan).

Dalam beberapa kalangan, KPI ‘driver’  terkadang disebut sebagai KPI ‘operasional’, yang sedikit kelihatan retoris.  Kebanyakan organisasi mengumpulkan berbagai macam metrik-metrik operasional. Seperti yang tersirat dalam namanya, metrik-metrik tersebut berkaitan dengan aktivitas-aktivitas operasional dan kinerja perusahaan. Berikut adalah list contoh-contoh ilustrasi berbagai area operasional yang dicakup oleh metrik-metrik tersebut:
  • Customer performance. Metrik-metrik untuk kepuasan pelanggan, kecepatan dan akurasi mengenai pemecahan masalah dan retensi pelanggan.
  • Service performance. Metrik-metrik untuk jumlah penanganan untuk service-call, jumlah service renewal, SLA compliance, delivery performance, dan return rates.
  • Sales operation.  Jumlah akun/saluran baru, jumlah penjualan yang berhasil ditangani, jumlah konversi permintaan keterangan menjadi penjualan, dan rerata durasi waktu penjualan melalui telepon.
  • Sales plan/forecast. Metrik-metrik terhadap akurasi price-to-purchase, rasio antara pemesanan dan pemenuhan, kuantitas yang didapatkan, rasio forecast-to-plan, dan jumlah total ‘deal’ yang dihasilkan.
Apakah suatu metrik operasional  adalah suatu yang strategis atau bukan hal itu bergantung pada perusahaan dan penggunaan dari  ukuran-ukuran tersebut.  Di banyak contoh, metrik-metrik tersebut merupakan pengendali utama dari hasil-hasil strategis. Contohnya, Hatch (2008) mengingatkan mengenai kasus suatu perusahaan distributor anggur yang sedang tertekan di bagian hulu oleh konsolidasi para pemasok dan di bagian hilir tertekan oleh konsolidasi para pengecer. Dan sebagai responnya, perusahaan tersebut memutuskan berfokus pada empat ukuran operasional: on-hand/on-time inventory availability, outstanding “open” order value, net-new accounts,  dan promotion costs dan return on marketing investment (ROMI).  Hasil ‘net’ dari usaha-usaha tersebut adalah adanya peningkatan 12 persen revenue dalam satu tahun. Jadi jelas, bahwa metrik-metrik operasional tersebut adalah ‘key drivers’. Namun begitu, seperti diuraikankan dalam bagian berikut, dalam banyak kasus perusahaan-perusahaan mengukur apa yang dirasa nyaman dengan sedikit pertimbangan mengenai kenapa data dikumpulkan. Hasilnya adalah buang-buang waktu, tenaga, dan uang.

Berbagai masalah dengan sistem pengukuran kinerja yang sedang digunakan saat ini

Andaikan anda melakukan survey ke banyak perusahaan saat ini, anda akan sulit menemukan suatu perusahaan yang tidak mengatakan bahwa mereka memiliki sistem pengukuran kinerja (kebalikan dari sistem manajemen kinerja). Sistem yang paling populer digunakan adalah varian dari balanced scorecard (BSC) dari Kaplan dan Norton. Berbagai survey dan kajian benchmarking menunjukkan bahwa dimanapun 50 hingga lebih dari 90 persen dari semua perusahaan telah mengimplementasikan suatu bentuk BSC. Contohnya, setiap tahun sejak 1993 Bain & Company (Rigby and Bilodeau, 2009) telah melakukan survey ke berbagai eksekutif internasional dengan jangkauan yang sangat luas untuk menentukan tool-tool manajemen manakah yang paling banyak digunakan. Hasil survey pada tahun 2008 didasarkan pada lebih dari 1400 eksekutif. Menurut survey tersebut, 53 persen perusahaan menunjukkan bahwa mereka menggunakan BSC.  Dalam kebanyakan survey semacam ini, ketika para eksekutif yang sama diminta untuk menjelaskan BSC mereka, rupanya ada suatu kebingungan mengenai apa yang dimaksud dengan “balance”.  Tentu saja tidak ada kebingungan bagi para pencipta BSC, Kaplan dan Norton (1996):
Inti dari methodology BSC adalah visi yang holistik mengenai sistem pengukuran yang terjalin  dengan arah strategi organisasi. Hal itu didasarkan pada empat perspektif  pandangan dunia, yaitu ukuran-ukuran finansial yang ditunjang oleh metrik-metrik pengukuran mengenai ‘customer’, ‘internal process’, dan learning and growth’.
Namun, seperti penemuan oleh Saxon Group, mayoritas dari ukuran-ukuran kinerja adalah aspek finansial (65%) sebagai hakikat dasarnya, berfokus pada lagging indicators (80%), dan aspek-aspek internal dibandingkan aspek eksternal (75%).  Apa yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah suatu ‘scorecard’—yaitu satu set reports, charts, dan tampilan-tampilan khusus yang memungkinkan manajemen untuk membandingkan hasil-hasil aktual dengan hasil yang direncanakan untuk bermacam-macam aspek pengukuran.

Berbagai laporan keuangan periodik adalah komponen inti dari kebanyakan sistem pengukuran kinerja. Hal ini bukanlah hal yang mengejutkan. Pertama, kebanyakan sistem tersebut adalah dibawah departemen keuangan. Kedua, kebanyakan organisasi (Saxon mencatatnya 67%) melihat proses perencanaan sebagai pelaksanaan perencanaa keuangan yang harus dipenuhi setiap tahun. Ketiga, kebanyakan eksekutif tidak terlalu percaya pada segala hal kecuali angka-angka keuangan dan operasional.  Penelitian menunjukkan bahwa para eksekutif menilai berbagai macam jenis informasi (misalnya, keuangan, operasional, pasar, pelanggan), tetapi mereka berpikir bahwa diluar informasi mengenai keuangan dan operasional, data-data tersebut adalah data yang patut dicurigai, dan mereka tidak mau mempertaruhkan pekerjaan mereka berdasarkan kualitas informasi tersebut.

Kelemahan dengan penggunaan data finansial  sebagai inti sistem pengukuran kinerja sudah diketahui banyak orang. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut paling banyak disebut adalah:
  • Ukuran-ukuran finansial biasanya dilaporkan berdasarkan struktur organisasi (misal, pengeluaran bagian research and development) dan bukan berdasarkan proses yang menghasilkannya.
  • Ukuran-ukuran finansial adalah ‘lagging indicators’ (data yang ketinggalan), menunjukkan apa yang telah terjadi lebih dulu, bukan ‘kenapa’ itu terjadi atau apa yang mungkin terjadi di masa mendatang.
  • Ukuran-ukuran finansial (misal, overhead administrative) seringkali berupa hasil dari alokasi-alokasi yang tidak terkait dengan proses-proses yang menghasilkannya.
  • Ukuran-ukuran finansial  berfokus pada jangka pendek dan memberikan sedikit informasi mengenai jangka panjang.
Rabun keuangan bukanlah problem satu-satunya yang menggangu berbagai sistem pengukuran kinerja dalam pekerjaan di masa kini. Beban yang terlalu berat dalam pengukuran dan ketidakseimbangan dalam pengukuran juga merupakan problem utama dalam sistem penilaian kinerja saat ini.

Adalah sesuatu yang tidak umum mencari dan mendapati  perusahaan yang dengan bangga menyatakan bahwa mereka sedang melacak lebih dari 200 ukuran di level korporat. Adalah hal yang sulit dibayangkan mencoba mengendarai mobil dengan 200 tombol di dashboard.  Namun, kita akan mendapatkan kesulitan mengemudikan perusahaan dengan 200 tombol di dashboard korporat, meskipun kita tahu bahwa manusia hanya mampu meneliti dan melacak ke beberapa masalah saja dan hal-hal lainnya dikesampingkan begitu saja. Beban yang terlalu berlebihan seperti itu diperburuk lagi dengan kenyataan bahwa perusahaan sangat jarang menghapus berbagai macam ukuran tersebut. Jika ada data baru atau permintaan data muncul, akhirnya ditambahkan begitu saja sehingga akan semakin bertumpuk. Bila jumlah tolok ukur hari ini 200, maka akan jadi 201 esoknya, dan 202 esoknya lagi. Meskipun berbagai rencana berubah dan peluang dan masalah datang dan pergi silih berganti dengan frekwensi yang selalu meningkat, hanya sedikit usaha saja yang dibuat untuk menentukan apakah daftar ukuran yang dilacak masih bisa digunakan pada situasi saat ini.

Untuk berbagai ukuran yang dilacak, manajemen kekurangan kendali langsung.  Michael Hammer (2003) menyebut ini sebagai ‘principle of obliquity’. Sebaliknya, ukuran-ukuran seperti ‘earnings per share’ (EPS atau pendapatan per saham), ‘return on equity’ (ROE), ‘profitabilitas’, ‘market share’, dan ‘customer satisfaction’ perlu dimonitor. Sebaliknya, ukuran-ukuran tersebut hanya bisa diikuti dengan cara ‘tak langsung’. Apa yang dapat dikontrol adalah tindakan dari masing-masing individu atau karyawan. Sayangnya, dampak dari tindakan individual apapun terhadap strategi korporat atau strategi pada unit bisnis tidaklah terlalu berarti. Apa yang diperlukan untuk mempertalikan hal-hal yang penting dan utama dengan hal-hal yang dapat terkontrol adalah suatu model bisnis strategis atau methodologi yang dimulai dari top level dan menghuibungkannya dengan tujuan dan sasaran korporat hingga ke inisiatif di level paling bawah yang dilakukan oleh para karyawan.

Pengukuran Kinerja Yang Efektif

Banyak buku memberikan resep untuk menentukan bagaimana sekumpulan ukuran-ukuran kinerja itu baik atau buruk. Diantara ramuan dasar dari sekumpulan koleksi yang baik tersebut adalah hal-hal berikut:
  • Ukuran-ukuran seharusnya berfokus pada faktor-faktor kunci atau utama.
  • Ukuran-ukuran seharusnya merupakan paduan dari masa lalu, saat ini, dan masa mendatang.
  • Ukuran-ukuran seharusnya menyeimbangkan kebutuhan para pemegang sahan, karyawan, partner, supplier, dan pemangku kepentingan yang lain.
  • Ukuran-ukuran seharusnya diawali dari top level mengalir hingga ke karyawan paling bawah.
  • Ukuran-ukuran perlu memiliki target yang berdasarkan pada kajian dan kenyataan dan bukannya asal-asalan.
Seperti yang tertulis pada bagian KPI di atas, meskipun semua karakteristik ini adalah penting, kunci yang efektif  dari sistem pengukuran kinerja adalah adanya strategi yang bagus.  Ukuran-ukuran harus diturunkan dari strategi-strategi korporat dan unit bisnis dan dari analisa proses bisnis utama yang diperlukan untuk mencapai strategi-strategi tersebut. Tentu saja, hal ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Andaikan itu sesuatu yang mudah, pasti banyak organisasi yang sudah memiliki sistem pengukuran kinerja yang efektif ini, tetapi nyatanya tidaklah demikian.

No comments:

Post a Comment