Six Sigma & Lean Six Sigma - Seri Business Performance Management (7) - Bagian (b)

Six Sigma

Sejak kelahirannya di pertengahan 1980an, Six Sigma telah diadopsi secara luas oleh banyak perusahaan di seluruh dunia. Sebagian besar, Six Sigma belum digunakan sebagai methodologi manajemen kinerja [Baca juga: Methodologi BPM termasuk BSC]. Sebaliknya, kebanyakan perusahaan menggunakannya sebagai methodologi untuk memperbaiki proses yang mendorong mereka untuk mencermati  proses-proses bisnis mereka, menunjukkan berbagai permasalahan, dan menerapkan solusinya. Dalam beberapa tahun belakangan, beberapa perusahaan, seperti Motorola, telah memperkenalkan manfaat menggunakan Six Sigma untuk tujuan-tujuan strategis. Dalam contoh-contoh ini, Six Sigma memberikan berbagai cara untuk mengukur dan memonitor proses-proses kunci yang terkait dengan profitabilitas perusahaan dan mempercepat pabrikan di semua kinerja bisnis. Karena fokusnya adalah proses bisnis, Six Sigma juga memberikan cara langsung dalam membahas masalah-masalah kinerja setelah masalah-masalah tersebut teridentifikasi dan terdeteksi.

Definisi Six Sigma

Sejarah mengenai Six Sigma dimulai pada akhir 1970an, meskipun banyak hal dari gagasan-gagasan tentang Six Sigma bisa ditelusuri pada berbagai inisiatif mengenai kualitas pada era sebelumnya (bisa dilihat di en.wikipedia.org/wiki/Six_Sigma).  Istilah Six Sigma pertama kali diperkenalkan oleh Bill Smith, seorang insinyur di Motorola.  Pada kenyataanya, Six Sigma adalah merek dagang Motorola yang terdaftar secara federal. Pada akhir 1970an dan awal hingga pertengahan 1980an, Motorola didorong menuju Six Sigma karena berbagai tekanan internal dan eksternal.  Secara eksternal, di pasar dikalahkan oleh kompetitor yang mampu memproduksi produk-produk yang berkualitas lebih tinggi dengan harga yang lebih rendah. Secara internal, ketika suatu perusahaan  Jepang mengambil alih pabrik Motorola U.S. yang memproduksi televisi-televisi Quasar dan bisa memproduksi TV yang menghasilkan cacat produksi 1/20 dengan prosedur operasi regular, para eksekutif Motorola harus mengakui bahwa kualitas mereka memang buruk. Dalam menjawab tekanan-tekanan ini, CEO Motorola, Bob Galvin,  memimpin perusahaan untuk menyusuri jalur rantai kualitas yang disebut Six Sigma. Sejak saat itu, ratusan perusahaan diseluruh dunia, termasuk General Electric, Allied Signal, DuPont, Ford, Merrill Lynch, Caterpillar, dan Toshiba, menggunakan Six Sigma untuk  menghasilkan miliaran dolar perumbuhan di top-line dan peningkatan pendapatan di bottom-line.

Dalam Six Sigma, suatu bisnis dipandang sebagai kumpulan berbagai proses. Proses bisnis adalah sekumpulan aktivitas yang mengubah sekumpulan input, termasuk supplier, asset, resources (misalnya, modal kapital, material, karyawan/orang), dan informasti menjadi sekumpulan output (misalnya, barang atau jasa) untuk orang lain atau proses yang lain. Tabel berikut dibawah ini adalah daftar kategori proses bisnis yang bisa mempengaruhi kinerja korporat secara keseluruhan.
Kategori Proses Bisnis
Accounting and measurements
Administrative and facility management
Audits and improvements
Business planning and execution
Business policies and procedures
Global marketing and sales
Information management and analysis
Leadership and profitability
Learning and innovation
Maintenance and collaboration
Partnerships and alliances
Production and service
Purchasing and supply-chain management
Recruitment and development
Research and development

Sigma, σ, adalah huruf alphabet Yunani yang digunakan oleh para ahli statistik untuk mengukur tingkat variabilitas dalam suatu proses.  Dalam arena pertandingan kualitas, variabilitas adalah sinonim dengan jumlah cacat produksi. Dalam istilah numerik, normalnya adalah 6200 hingga 67000 cacat produksi per satu juta peluang (DPMO – defect per million opportunities). Contohnya, bila suatu perusahaan asuransi menangani 1 juta klaim, maka dalam keadaan prosedur operasi normal 6200 hingga 67000 dari klaim-klaim itu akan cacat (misalnya, salah penanganan, ada kesalahan dalam formulir). Tingkat variabilitas ini mendeskripsikan kinerja tingkat 3-hingga-4 sigma. Untuk mencapai level kinerja Six Sigma, perusahaan harus mengurangi jumlah cacat hingga kurang dari 3.4 DPMO. Karena itu, Six Sigma adalah methodologi manajemen kinerja yang bertujuan untuk mengurangi jumlah cacat dalam proses bisnis sedekat mungkin dengan 0 DPMO.

Model Kinerja DMAIC 
Six Sigma bertumpu pada model peningkatan kinerja sederhana yang dikenal dengan DMAIC. Seperti dalam BPM, DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve-Control)  adalah model peningkatan bisnis dengan loop tertutup, dan memiliki langkah-langkah ‘men-definisi’-kan, ‘mengukur’, ‘menganalisa’, ‘memperbaiki’, dan ‘mengontrol’ proses. Langkah-langkah tersebut bisa dideskripsikan seperti berikut:
  1. Define. Buat definisi tujuan, sasaran, dan lingkup aktivitas perbaikan. Pada top level, sasaran adalah tujuan strategis perusahaan. Pada level bawah—level departemen atau level project –sasaran adalah berfokus pada proses operasional tertentu.
  2. Measure. Buatlah pengukuran atau penilain terhadap sistem yang sedang digunakan. Buatlah ukuran-ukuran kuantitatif yang akan menghasilkan data yang valid secara statistik. Data tersebut bisa digunakan untuk memonitor kemajuan terhadap sasaran-sasaran yang didefinisikan pada langkah sebelumnya.
  3. Analyze. Buat analisa sistem untuk mengidentifikasi cara untuk menghilangkan selisih antara kinerja sistem atau proses saat ini dengan tujuan yang diinginkan.
  4. Improve. Mulailah bertindak untuk menghilangkan ‘gap’ dengan menemukan cara-cara untuk melakukan hal-hal lebih baik, lebih murah, atau lebih cepat. Gunakan manajemen project dan berbagai tool perencanaan lainnya untuk menerapkan pendekatan baru.
  5. Control. Institusionalisasikan sistem yang sudah diperbaiki dengan memodifikasi kompensasi dan sistem insentif, kebijakan, prosedur, perencanaan resource produksi (manufacturing resource planning –MRP), budgets, instruksi operasi, atau sistem manajemen lainnya.untuk proses-proses baru tersebut.
Untuk proses-proses yang baru, model yang digunakan disebut dengan DMADV (define-measure-analyze-design-verify). Secara tradisional, DMAIC dan DMADV telah digunakan  terutama dengan masalah-masalah operasional.

Lean Six Sigma

Dalam beberapa tahun belakangan telah menjadi pusat perhatian untuk menggabungkan methodologi Six Sigma dengan methodologi yang dikenal dengan ‘Lean Manufacturing’, ‘Lean Production’, atau gampangnya ‘Lean’ saja (lihat en.wikipedia.org/wiki/Lean_manufacturing untuk ringkasan methodologi-nya). Konsep awal lean kembali ke masa penggunaan Henry Ford dalam memproduksi massa berbasiskan  work-flow. Lebih baru lagi, konsep tersebut diasosiakan dengan berbagai proses produksi yang digunakan oleh Toyota (yang dikenal dengan Toyota Production System – TPS). Istilah ‘Lean Production’ dipopulerkan oleh John Krafcik pada tahun 1988 dalam artikel yang berjudul “Triumph of the Lean Production System” yang diterbitkan di “Sloan Management Review” (Krafcik 1988) dan berbasiskan pada thesis masternya di “Sloan School of Management di MIT”. Sebelum penugasannya di MIT, Krafcik adalah quality engineer di project gabungan antara Toyota dan General Motors.

Six Sigma dan Lean Production keduanya berkaitan dengan kualitas. Perbandingan kedua methodologi tersebut  bisa dilihat di tabel di bawah ini.
Comparison of Lean Production with Six Sigma
Feature
Lean
Six Sigma
Purpose
Remove waste
Reduce variation
Focus
Flow focused
Problem focused
Approach
Many small improvements
Removing root causes
Performance measure
Reduced flow time
Uniform output
Results
Less waste with increased efficiency
Less variation with consistent output

Seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas, lean berfokus pada menghilangkan hal-hal yang tak berguna atau aktivitas-aktivitas yang tidak ‘value-added’, padahal Six Sigma berfokus pada mengurangi perbedaan atau meningkatkan konsistensi proses. Dari perspektif lean,  hal-hal yang tak berguna muncul  dengan berbagai macam bentuk :
  • Overproduksi sebelum adanya permintaan
  • Menunggu informasi proses berikutnya
  • Memindah-mindahkan berbagai material yang seharusnya tidak perlu 
  • Pemrosesan yang terlalu-atau tidak- menambahkan value
  • Inventory yang lebih dari minimal
  • Pergerakan karyawan yang sebetulnya tidak perlu
  • Memproduksi komponen-komponen yang tidak sesuai
Lean bisa diterapkan ke berbagai macam produksi atau workflow, tidak hanya proses manufaktur. Tujuannya adalah menguji proses supaya menghilangkan hal-hal yang tidak perlu. Berikut adalah contoh-contoh hal-hal yang tidak perlu yang bisa muncul ketika menangani request atau komplain dari pelanggan melalui call center:
  • Overproduction – mengirim informasi ke semua orang
  • Waiting  – orang (pelanggan) yang sedang menunggu informasi
  • Transportation – panggilan dialihkan ke banyak operator
  • Processing  – approval yang berlebihan untuk menyampaikan informasi
  • Inventory – penelpon yang sedang  menunggu untuk dijawab
  • Motion --  mengambil buku panduan instruksi 
  • Defect – kesalahan dalam memberi informasi ke penelpon
Apa yang ditambahkan ‘Lean’ ke ‘Six Sigma’ adalah kecepatan. Hal itu dilakukan untuk mengeliminasi langkah-langkah yang ‘tidak-value-added’. Setelah aliran proses benar-benar berisi langkah-langkah yang ‘value-added’, Six Sigma bisa digunakan untuk memastikan bahwa langkah-langkah itu dilakukan  se-konsisten mungkin. Contohnya, pada contoh call center tadi setelah langkah-langkah yang tepat dalam mengambil buku panduan instruksi (pergerakannya) di-identifikasi, langkah selanjutnya adalah menentukan bagaimana langkah-langkah tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten.

Hasil dari Six Sigma

Para pakar dan cendekia Six Sigma memuji methodologi Six Sigma dan menunjukkan beberapa perusahaan seperti General Electric (GE) dan Honeywell sebagai bukti dari manfaatnya. Jack Welch, CEO GE terdahulu yang mendirikan program tersebut di tahun 1995, membuat pernyataan public bahwa “Six Sigma telah membantu mendorong margin operasi hingga 18.9 persen pada tahun 2000 dari 14.8 persen empat tahun sebelumnya”. Yang lebih baru lagi, adalah pengumuman perihal pendapatan dari Caterpillar Inc. (2009) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan seperti Home Depot sebagai bukti bahwa Six Sigma juga bisa gagal (Richardson, 2007). Penerapan Six Sigma yang dipublikasikan dengan baik di ‘Home Depot’ didorong oleh CEO nya terdahulu Robert Nardelli, yang berasal dari GE. Saat itu kekayaan Home Depot mulai menyusut dan Home Depot ketinggalan dibandingkan dengan pesaing utamanya ‘Lowes’, Nardelli  menyatakan bahwa Six Sigma belum berjalan baik sesuai dengan yang dijanjikan. Dengan cara yang sama, para penentang Six Sigma mencatat bahwa framework tersebut (Six Sigma) berjalan dengan baik apabila suatu perusahaan memiliki minat dalam mendorong pertumbuhan melalui inovasi. Pernyataan yang dikemukaan oleh juru bicara Honeywell memberikan gambaran yang lebih seimbang mengenai perdebatan mengenai Six Sigma secara keseluruhan dan dia mencatat bahwa “Six Sigma bukanlah  segalanya. Six Sigma adalah sekumpulan tool untuk memperbaiki proces. Kita tidak pernah menyarankan bahwa kinerja perusahaan semata-mata terkait dengan pemakaian tool-tool tersebut.

Six Sigma tidaklah berbeda dengan inisiatif bisnis lainnya. Ketika penerapannya tidak berjalan sesuai yang diharapkan, anda perlu membuat ‘adjusment’. Berikut ini bisa secara dramatis meningkatkan keberhasilan Six Sigma:
  • Six Sigma diintegrasikan dengan strategi bisnis. Teknik-teknik Six Sigma sangat hebat dalam mengurangi perbedaan/cacat proses. Saat ini, jumlah perusahaan yang menerapkan pendekatan Six Sigma untuk keunggulan bisnis sebagai bagian dari bisnis strategi selalu meningkat.
  • Six Sigma menunjang berbagai tujuan bisnis. Penerapan (Six Sigma) yang berhasil berdasarkan suatu risiko atau tantangan bisnis dimana perusahaan bisa mengatasinya melalui Six Sigma. Meng-identifikasi ‘tantangan’ berarti semua pemimpin  bisnis perusahaan paham mengenai kenapa perusahaan menerapkan strategi-strategi  yang  berbasiskan prinsip-prinsip Six Sigma.
  • Para eksekutif kunci terlibat intens dengan proses. Suatu perusahaan harus melibatkan semua pemimpin bisnis kunci dalam membantu mendesain penerapan Six Sigma mereka. Para manajer tidak akan pernah benar-benar mendukung Six Sigma bila mereka melihatnya sebagai ‘penghilangan’ resources mereka daripada menambahkan kapabilitas dan membantu mereka menjadi lebih sukses dalam mencapai tujuan-tujuan mereka; atau mereka tidak akan secara aktif mendukungnya bila mereka mengiranya sebagai menghabiskan alokasi budget penting daripada menentukan tahapan untuk mendapatkan pengembalian finansial yang signifikan.
  • Proses pemilihan project didasarkan pada potensi value. Perusahaan-perusahaan yang paling efektif menerapkan Six Sigma memiliki proses pemilihan project yang ketat yang dikendalikan dengan suatu evaluasi mengenai seberapa banyak para pemegang saham menilai suatu project yang dihasilkan.  Hal itu bisa digambarkan sebagai suatu‘trade-off’ dengan membandingkan ‘value’ yang dihasilkan dengan effort yang dikeluarkan.
  • Ada sejumlah project dan resources yang sangat penting. Beberapa perusahaan memulai implementasi dengan mengadakan pelatihan sejumlah orang dan meluncurkan beberapa project ‘demo’. Beberapa perusahaan yang lain berjalan terus dengan  implementasi pada tingkat korporat, dengan memberi  pelatihan ratusan ‘pemegang sabuk hitam’ dan meluncurkan lusinan project dalam 6 bulan pertama.  Dalam konteks ini seorang ‘pemegang sabuk hitam’ adalah karyawan yang dilatih atau memiliki sertifikasi dalam Six Sigma dan mengabdikan diri 100 persen waktunya untuk mengeksekusi project Six Sigma. Kedua pendekatan tersebut bisa diterapkan, tetapi setiap perusahaan pasti memiliki tingkat yang sangat  genting ketika menerapkan Six Sigma.
  • Project-yang-sedang-dalam-proses harus dikelola secara aktif. Dengan pertimbangan bahwa kebanyakan perusahaan ingin menghasilkan hasil-hasil yang signifikan dan terukur dalam 6 bulan atau satu tahun, kecenderungan yang terjadi adalah dengan mendorong  sebanyak mungkin project ke dalam penerapan ‘Lean Six Sigma’.  Adalah lebih baik untuk berfokus pada memperoleh sedikit project yang memiliki potensi tinggi dan diselesaikan dengan baik daripada hanya membanjiri  pekerjaan dengan lusinan project-project yang tidak penting. Dengan resources yang benar yang mengerjakan project-project yang benar, pembelajaran dan hasil-hasil bisa dimaksimalkan melalui waktu siklus yang lebih pendek.
  • Skill dalam leadership team sangat ditekankan. Penggunaan Six Sigma  benar-benar melibatkan beberapa skill teknis – contohnya, kemampuan dalam memproses dan menganalisa data. Tetapi skill leadership  yang baik adalah jauh lebih baik. Penekanan pada leadership ini juga terkait dengan bagaimana suatu perusahaan memilih orang-orang untuk mengisi peran-peran sebagai ‘pemegang sabuk hitam’. Dengan menempatkan orang-orang yang terbaik sebagai ‘pemegang sabuk hitam’ pada awalnya tidak enak, namun hal itu akan menghasilkan hasil-hasil yang cepat dan transformasi organisasi yang  yang cepat.
  • Hasil harus bisa ditelusuri dengan ketat. Hasil-hasil dalam Six Sigma harus ‘terbayar  karena anda sudah menjalankannya’ dan pastikan hal itu melalui pihak-pihak yang objektif. Terlalu banyak perusahaan mengabaikan perlunya memiliki cara yang handal dalam menilai hasil dan dampak project, atau mereka meremehkan ‘kesulitan’ dalam membuat sistem seperti itu. Ketika penerapannya direncanakan, perusahaan harus memikirkan pengukuran-pengukurannya atau key performance indicators (KPI) dari berbagai hasil finansial potensialnya. Paling tidak, waktu siklus project dan nilai project harus diukur secara regular dan untuk mendapatkan pemahaman terhadap tingkat perbedaan (cacat produksi) secara statistik atau numerik.
Dalam upaya untuk meningkatkan probabilitas keberhasilan inisiatif Six Sigma, beberapa perusahaan, seperti Motorola dan Duke University Hospital, telah menggabungkan inisiatif tersebut dengan BSC (Balanced Score Card). Dengan begitu, inisiatif terkait peningkatan kualitas akan langsung terkait dengan berbagai target dan tujuan strategis. Dengan nada yang sama, Gupta (2006) telah mengembangkan suatu methodologi campuran yang disebut dengan ‘Six Sigma Business Scorecard’ yang secara langsung menghubungkan aspek-aspek peningkatan proses dalam Six Sigma dengan perspektif finansial dalam BSC. 

No comments:

Post a Comment