Membangun Komunitas Online


Tidak perlu terobesesi dengan fans/follower yang banyak

Bagi seorang praktisi marketing, ketika mentargetkan konsumen dan membangun komunitas online, tidaklah perlu untuk terlalu terobsesi dengan memiliki jumlah fans atau follower yang banyak. 

Jadi, saat kita mulai menetapkan target konsumen secara online, sebaiknya kita pastikan bahwa kita tidak terlalu terobsesi dengan penggemar atau pengikut yang jumlahnya banyak (meskipun banyak juga baik dan tidak salah). Tujuan pemasaran/marketing melalui media sosial bukanlah menjadi orang/sesuatu yang terpopuler di arena media sosial. Lebih baik memiliki anggota yang lebih sedikit tetapi memiliki ikatan emosional daripada memiliki ribuan orang yang tidak mengidentifikasi dirinya dengan produk kita. Sangatlah mudah untuk mendapatkan anggota secara online. Ada banyak situs yang bisa kita kunjungi, dan kemudian kita membayar sejumlah uang, dan jumlah member kita akan bertambah tergantung pada jumlah uang yang dibayarkan. Namun, apa yang sebenarnya yang dilakukan aktivitas seperti ini untuk tujuan bisnis dan organisasi/perusahaan kita?

Salah satu indikator kedekatan hubungan yang paling signifikan di antara manusia adalah keterbukaan diri. Semakin bersedia audiens/orang menjadi lebih terbuka dan mengungkapkan hal/informasi yang bersifat lebih pribadi, semakin dekat pihak/orang tersebut merasakan kedekatan hubungan tersebut. Oleh karena itu, kita harus menyediakan ruang untuk dialog yang cukup aman sehingga anggota komunitas merasa aman untuk berbagi dan mengungkapkan diri. 

Memaksimalkan "sense of community" dari suatu komunitas
Ada lima langkah untuk memaksimalkan "sense of community" online:
  1. Menetetapkan kriteria yang harus dipenuhi individu untuk bergabung dengan jejaring sosial kita. Meskipun mungkin kita bisa kehilangan beberapa anggota/audiens, tetapi mereka yang benar-benar "commit" akan merasa bahwa mereka memiliki eksklusivitas. Contoh: Grey Poupon (perusahaan yang menjual aneka makanan) menerapkan proses screening yang ketat untuk menjadi anggota komunitasnya. Jadi orang-orang yang lolos proses tersebut benar-benar merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat eksklusif sebagai kaum/komunitas yang memiliki "selera yang tinggi"
  2. Memfokuskan pada riset tentang audiens yang sekunder dan "niche". Audiens sekunder adalah konsumen yang belum menjadi pelanggan tetapi memiliki potensi/kecenderungan untuk menjadi pelanggan dan bukan primary audiens/konsumen utama yang sudah menjadi pelanggan. Audiens seperti ini kemungkinan tidak ditargetkan oleh pesaing kita dan bisa meningkatkan ROI kita.
  3. Membuka ruang dialog antar pengguna semaksimal mungkin dengan mengajukan pertanyaan. Bila perlu bisa dicoba untuk memusatkan percakapan tentang hal-hal yang lebih pribadi/spesifik dibanding yang bersifat publik/umum.
  4. Mengidentifikasi key members (anggota-anggota kunci) komunitas kita dan mempromosikan mereka sesering mungkin melalui hadiah atau cerita-cerita "feature".
  5. Selalu terus memantau dan mengevaluasi seberapa puaskah pelanggan dengan layanan dan produk kita.

Brand Authenticity 

Di dalam membuat pesan di media sosial, sangatlah penting untuk memikirkan "authenticity" dari brand perusahaan. Brand authenticity akan membantu komsumen untuk memahami lebih baik tentang siapa kita dan apa yang sedang kita pasarkan. 

Authenticity adalah tentang menjadi diri sendiri dan memanfaatkan apa yang unik yang kita tawarkan ke konsumen. Sebagaimana yang dikatakan Stratten (2012):
"Jika Anda adalah diri Anda yang authentic (sejati), Anda tidak memiliki pesaing." 
Ada banyak sekali perusahaan dan produk yang dijual secara online. Kemungkinannya, apa pun yang akan kita jual (layanan dan produk kita) orang lain sudah menjualnya. Namun, tentu ada sesuatu yang unik dan spesial tentang kontribusi kita ke market/konsumen. Jadi, fokus pada keunikan kita.

Konsumen harus bisa membedakan produk dan layanan kita dari perusahaan lain melalui enam karakteristik yaitu: fisik, personality, kultur, relationship, refleksi, dan citra diri (Kapferer, 1997). Jika konsumen tidak mampu membedakan ini dari yang lainnya, itu berarti masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan pada strategi branding kita. Pastikan bahwa kita selalu sering untuk memantau dan mengevaluasi brand kita.

Adalah penting bahwa ada integritas di balik brand kita. Artinya jika kita tidak jujur ​​dengan diri sendiri, akan ada diskoneksi/ketidaknyambungan antara authenticity dan brand yang kita kemukakan. Salah satu cara terbaik untuk memastikan authenticity dari brand kita adalah melalui storytelling.

Referensi:
  • Kapferer, J.-N. (1997) Strategic Brand Management. London: Kogan Page.
  • Mahoney, L. M., Tang Tang. Strategic Social Media: From Marketing to Social Change. Wiley-Blackwell
  • Stratten, S. (2012) UnMarketing: Stop Marketing. Start Engaging. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Artikel lain yang terkait:

No comments:

Post a Comment