Pengalaman pengguna (user experience) mengacu pada bagaimana suatu produk berperilaku dan digunakan oleh orang-orang di dunia nyata. Jakob Nielsen dan Don Norman (2014), pakar dalam bidang user experience, mendefinisikan pengalaman pengguna (user experience) sebagai berikut, “semua aspek interaksi pengguna dengan perusahaan, layanan, dan produknya.” Sebagaimana ditekankan oleh seorang pakar user experience yang lain, Jesse Garrett (2010), “Setiap produk yang digunakan oleh seseorang pasti memiliki pengalaman pengguna: entah itu koran, botol kecap, kursi malas, sweater kardigan. ”Lebih spesifik lagi, pengalaman pengguna (user experience) adalah tentang bagaimana perasaan orang tentang suatu produk serta kegembiraan dan kepuasan mereka saat menggunakannya, melihatnya, memegangnya, dan membuka atau menutupnya. Hal ini meliputi juga kesan keseluruhan mereka tentang seberapa baik produk tersebut digunakan, sampai ke detil-detil kecil efek sensual/sensional yang dirasakan, misalnya seberapa mulus/lancar suatu saklar berputar atau suara klik dan sentuhan suatu tombol ketika menekannya. Satu aspek penting adalah kualitas pengalaman yang dimiliki seseorang, apakah tentang seberapa cepat, misalnya ketika mengambil foto; atau tentang seberapa santai, misalnya ketika bermain dengan mainan interaktif; atau tentang seberapa terintegrasi dan lengkap, misalnya ketika mengunjungi museum (Law et al., 2009).
Sangatlah penting untuk menekankan bahwa kita tidak boleh merancang pengalaman pengguna, melulu demi pengalaman pengguna saja. Secara lebih spesifik, kita tidak boleh merancang suatu pengalaman yang sensasional/sensual, tetapi dengan hanya menciptakan fitur desain yang bisa membangkitkannya. Misalnya, casing luar suatu smartphone bisa dirancang supaya sangat mulus, halus, berkilau dan pas di telapak tangan; ketika dipegang, disentuh, dilihat, dan berinteraksi dengannya, dapat membangkitkan pengalaman pengguna yang sensual/sensasional dan melegakan. Tetapi, jika produk tersebut dirancang untuk menjadi berat dan canggung untuk dipegang, maka produk tersebut lebih cenderung berakhir dengan memberikan pengalaman pengguna (user experience) yang buruk — suatu pengalaman yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan.
Desainer terkadang menyebut UX (user experience) sebagai UXD. Penambahan D ke UX dimaksudkan untuk mendorong pemikiran desain yang lebih berfokus pada kualitas pengalaman pengguna alih-alih pada serangkaian metode desain yang digunakan (Allanwood and Beare, 2014). Seperti yang selalu ditekankan oleh seorang pakar UX, Don Norman (2004), selama bertahun-tahun, "Tidaklah cukup bahwa kita membuat produk yang berfungsi, yang dapat dimengerti dan dapat digunakan, tetapi kita juga perlu membangun suatu kebahagiaan dan kegembiraan, kesenangan dan keceriaan, dan juga, keindahan bagi kehidupan orang-orang."
Ada banyak aspek pengalaman pengguna yang perlu dipertimbangkan dan banyak cara mempertimbangkannya saat merancang produk yang interaktif. Yang paling penting diantaranya adalah kegunaan (usability), fungsionalitas, estetika, konten, tampilan dan nuansa (look and feel), dan daya tarik emosional. Selain itu, seorang pakar yang lain, Jack Carroll (2004), menekankan aspek-aspek luas lainnya, yang meliputi kegembiraan, kesehatan, modal sosial (sumber daya sosial yang berkembang dan dipelihara melalui jejaring sosial, nilai-nilai bersama, tujuan, dan norma), dan identitas budaya, seperti usia, etnis, ras, disabilitas, status keluarga, pekerjaan, dan pendidikan.
Beberapa peneliti telah berusaha mendeskripsikan aspek pengalaman dari pengalaman pengguna (user experience). Kasper Hornbæk dan Morten Hertzum (2017) mencatat bagaimana hal itu (pengalaman pengguna) sering dijelaskan dalam hal cara pengguna memandang suatu produk, misalnya apakah suatu smartwatch dilihat melalui ke-rampingan-nya atau ke-tebalan-nya, dan reaksi emosional pengguna terhadapnya, misalnya apakah orang memiliki pengalaman positif saat menggunakannya. Model yang diajukan oleh Marc Hassenzahl (2010) tentang pengalaman pengguna adalah yang paling populer, di mana ia mengonsepkannya dalam hal aspek pragmatis dan hedonis. Aspek pragmatis, disini dimaksudkan dengan seberapa sederhana, seberapa praktis, dan seberapa jelas bagi pengguna untuk mencapai tujuan mereka. Aspek hedonis, disini dimaksudkan dengan seberapa menggugah/membangkitkan dan menstimulasi interaksi bagi mereka. Selain persepsi seseorang tentang suatu produk, pakar lainnya, John McCarthy dan Peter Wright (2004) membahas pentingnya ekspektasi pengguna dan cara mereka memahami pengalaman mereka ketika menggunakan teknologi. Teknologi sebagai framework pengalaman menjelaskan pengalaman pengguna secara umum adalah tentang bagaimana teknologi tersebut dirasakan oleh pengguna. Mereka menyadari bahwa mendefinisikan pengalaman adalah sesuatu yang sangat sulit karena begitu samar dan selalu ada pada diri kita, sama halnya dengan berenang di air bagi ikan. Namun demikian, para pakar telah mencoba menangkap esensi dari pengalaman manusia dengan menggambarkannya dalam istilah holistik dan metaforis. Yaitu (pengalaman manusia) terdiri dari keseimbangan antara untaian-untaian sensual, otak, dan emosional.
Jadi, bagaimana cara kita menghasilkan pengalaman pengguna yang berkualitas? Tidak ada resep rahasia atau formula ajaib yang dapat langsung diterapkan oleh para desainer interaksi. Namun, ada banyak framework konseptual, banyak metode desain yang sudah dicoba dan diuji, banyak panduan, dan berbagai temuan penelitian yang relevan, yang dijelaskan di berbagai macam buku dan artikel tentang pengalama pengguna (user experience) yang bisa kita jadikan sebagai salah satu pedoman.
--o0o--
Artikel terkait:
- Pengertian Desain Interaksi (Interaction Design)
- Mengapa Perlu Memahami Pengguna Dalam Desain Interaksi
- Pengantar Desain Interaksi (Human Computer Interaction & User Experience)
- Tujuan Usability dan User Experience dalam Produk Interaktif
- Aksesibilitas dan Inklusivitas Dalam Desain Interaksi
- Delapan Aturan Emas Dalam Desain Antarmuka
Comments
Post a Comment